Thursday, September 28, 2017

Satu Kata Untuknya

Selamat pagi, meskipun ini masih dini hari.

Lama sekali tidak mengotak-atik lembar cerita hidup ini. It has been a year sepertinya. Iya, bener!!! Pagi ini aku mengumpulkan tekad untuk kembali mengisi lirik hidup ku. Tekad yang tadinya jauh dari kata "terwujud" karena kepercayaan diri yang terus bersembunyi. Hingga akhirnya seseorang datang dan membangunkan tekad ku dari tempat persembunyiannya. Memang setiap orang punya semangat dalam dirinya tapi kadang kita butuh orang lain untuk membangkitkannya.  Untuk pertama kalinya aku kembali merangkai lirik hidup ku, aku akan bercerita tentang seorang gadis yang berhasil membangkitkan tekad ku.

Dia adalah Ika Rahma Julianingrum. Gadis berdarah Kebumen yang lahir pada tanggal 22 Juli dua puluh tiga tahun lalu. Itu pun kalau aku nggak salah ingat. Maklum, baru satu tahun aku mengenalnya. Dia adalah teman abdi negara ku dua belas purnama terakhir ini. Kami adalah masyarakat SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) yang sama-sama ditempatkan di Pulau Moa Kab. Maluku Barat Daya. Kami memang ditempatkan di daratan yang sama. Tetapi sekolah tempat pengabdian kami berbeda. Aku ditempatkan di Desa Tounwawan sementara dia di Dusun Weet. Sometimes we shared food, drinks, pillows, and life. Dari situlah aku mengenal sosok luar biasa sang pembawa perubahan ini.

Siapa yang menyangka aku akan sekagum ini dengannya. Aku sendiri pun tak menyangka sama sekali. Pertama kali aku mengenalnya adalah ketika kami mengikuti Prakondisi SM-3T di Akademi Angkatan Udara Adi Sutjipto Yogyakarta bulan Agustus 2016. Kalau ditanya bagaimana kesan pertama waktu ketemu dia, satu kata untuk temanku ini - geram. Dalam beberapa kesempatan saat kegiatan ruangan aku duduk disampingnya. Dalam hatiku, "Ni orang punya gairah hidup nggak sih! Bicara aja irit. Seneng susah mukanya sama." MBOK NGOMONG LHO MBAK!!!  Kalimat yang sering ku lontarkan saat berada di dekatnya. Seperti biasa hanya senyuman manis alus kalem licin balasannya. Begitu tahu dia satu daerah penempatan dengan ku rasanya DUH KOK KARO KUI. Memang benar, never say never. Akhirnya Tuhan menjodohkan kami berdua lewat daratan Pulau Moa.

Purnama pertama lewat, Mbak e iseh kalem.
Purnama kedua bablas, Mbak e kaleme ra mari-mari.
Purnama ketiga, eh Mbak e jebul isa ngguyu.
Purnama keempat, Mbak e kok aku rada seneng.
Purnama kelima, enam, tujuh...  kami sering bekerja bersama (re: kerjasama).

Hingga dua bulan terakhir sebelum kami pulang ke Pulau Jawa aku baru menyadari dasyatnya sang bidadari yang sedang menata diri ini (julukannya untuk dirinya sendiri). Dia adalah guru gaul menurut ku. Gaul maksudnya? Coba bayangkan! Pertama kali mengajar di SMP N Weet dia adalah satu-satunya guru yang aktif karena memang sekolah itu baru dibuka. Dua belas bulan dia bertanggung jawab atas delapan belas penerus masa depan Indonesia. Sekolah yang belum memiliki gedung, buku, bahkan cap sekolah pun mereka belum ada. Hanya dibantu oleh seorang staf desa dia terus menyalurkan semangat juang kepada siswa-siswanya. Dia tak pernah berhenti membangkitkan semangat anak didiknya. Dia terus meyakinkan mereka walaupun sekolah ini baru tetapi mereka pasti bisa bersaing. Terbukti, anak didiknya meraih juara 2 dalam pertandingan lari estafet SMP tingkat kabupaten. Kemenangan itu tidak lain tidak bukan juga berkat semangat yang terus dia salurkan kepada siswa-siswanya. Guru gaul banget ya dia?

Selain itu, satu bulan terakhir sebelum kita pulang aku baru melihat kegigihannya dalam mewujudkan impian. Impiannya saat itu yang teramat sangat mulia yaitu membangkitkan kembali Rumah Pintar Weet yang telah tertidur lama entah karena apa. Harta karun yang menurutnya adalah harapan hidup anak Weet. Iya, aku masih ingat semangatnya menyortir buku-buku donasi yang akan dia berikan untuk Rumah Pintar Weet. Aku ingat perjuangannya menemui penanggung jawab Rumah Pintar itu. Kebingungannya akan jelasnya kepada siapa dia harus meminta ijin untuk membuka kembali rumah itu. Aku juga masih ingat kesabarannya mengajari anak-anak Weet mengoperasikan komputer. Dia pulang pergi ke ibukota kabupaten berburu sinyal wifi untuk mencari materi pembelajaran komputer. Demi siapa? Anak didiknya, anak-anak Dusun Weet, tanggung jawabnya, penerus masa depan bangsa.

Dia tak pernah meminta balasan apapun dari siapapun. Hasilnya? Rumah Pintar Weet sekarang benar menjadi harapan untuk anak-anak. Mereka sekarang bisa belajar mengoperasikan komputer disana. Mereka bisa membaca buku cerita dan bermain belajar disana. Sungguh amat sangat cantik perjuangan mu kawan. Aku yakin kau tidak hanya menyelesaikan tanggung jawab mu 12 bulan disana. Kau bahkan sudah menyelesaikan tanggung jawab mu terhadap 18 masa depan bangsa itu seumur hidup mereka. Semangat yang kau tanamkan kepada mereka tak akan pernah mati. Terimakasih sudah sudi mengabdikan diri mu untuk Indonesia, beraksi demi perubahan besar untuk NKRI. Sekarang satu kata untuk mu - kagum.

Coretan tengah malam ku
Shabrina

Related Posts

Satu Kata Untuknya
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.