Siang menjelang sore, awan hitam yang menyelimuti
sebagian langit di bumi pertiwi ini cukup bisa mengungkapkan sedikit dari
sekian banyak perasaanku yang tidak menentu. Tanda akan turunya air hujan,
tanda akan adanya petir menyambar dan tak menutup kemungkinan akan ada badai
yang mendera. Aku hanya duduk termenung di atas tempat tidurku, di sebuah kamar
yang sempit, tempat dimana aku tinggal sekarang yaitu kamar kostku. Disanalah
aku banyak menghabiskan waktu jika tidak ada jam kuliah. Memang sempit, tetapi
tempat itulah yang bisa membuatku tenang ketika aku sedang dilanda bad mood. Ketika aku ingin menangis aku
menangis, ketia aku ingin tertawa aku tertawa, ketika aku ingin marah pun aku
marah. Aku bebas mengekspresikan perasaanku disana. Bisa dibilang, kamar kostku
lah salah satu saksi bisu dari kisah cintaku.
Siang itu aku duduk
berdekatan dengan handphoneku, berharap akan ada dering yang muncul dari
handphoneku. Hampir setiap lima menit sekali aku melirik kecil ke arah
handphone ku, siapa tahu ada satu pesan yang masuk dan aku tak mendengar
deringnya. Tapi itu sangat impossible,
bagaimana mungkin aku bisa tidak sadar jika ada sms masuk sedangkan setiap lima
menit sekali pandanganku tak lepas dari benda itu. Aku menganggap handphoneku
adalah salah satu benda keramat karena benda itu bisa membuatku menjadi seperti
orang yang kehilangan akal sehat. Setiap lima menit sekali aku memandanginya,
dan kalau dihitung sehari aku bisa bolak-balik memandang handphoneku sebanyak
288 kali. Harapanku akan ada satu pesan masuk darinya yang bertuliskan “Hai..
“. Tetapi pesan itu tak juga datang, sampai aku bosan dan akhirnya aku membuka
galery yang ada di handphoneku dan melihat-lihat fotoku sendiri di sana.
Beberapa menit kemudian handphoneku berdering dan tanganku menjadi kaku,
jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, darahku rasanya mengalir begitu
derasnya, dengan penuh rasa gugup aku meraih handphoneku dan menekan tombol “buka”.
“ Hai, sudah mendapat buku untuk mata kuliah vocabulary? Kalau boleh tahu
judul bukunya apa ya? Makasih, Nana J”.
Huh...sungguh menambah hari itu semakin gelap saja. Bukan pesan darinya
yang aku terima. Itu temanku Nana yang menanyakan tentang buku vocabulary. Rasanya
tekanan darahku turun drastis saat itu, tubuhku menjadi lemas dan ingin tidur
saja. Akupun membalasnya dengan perasaan malas.
Aku kembali menunggu.
Sembari aku menunggu satu pesan masuk darinya aku pun mengenang satu kenangan
yang selalu berputar-putar dalam otakku, menghantuiku dimanapun dan kapanpun
aku berada. Saat pertama kali dia memujiku dengan mengirim pesan singkat...
“Aku suka melihatmu mengenakan baju batik, wajahmu terlihat cerah.
Sering-seringlah memakai baju batik kalau ngampus”.
Aku seperti terbang ke langit ketujuh saat itu, ingin menjerit
sekencang-kencangnya memanggil namanya. Allah memang selalu bersama hamba-Nya
yang sabar. Sejak saat itu juga aku jadi lebih sering memakai baju batik,
berharap dia akan lebih sering memujiku. Dan sejak saat itu pula aku mengganti
foto profil facebookku dengan fotoku yang mengenakan baju batik. Sayang pesan
itu sudah ku hapus karena emosi sesaatku ketika mendengar dia berangkat ke
kampus bersama mantan pacarnya.
Semakin dalam aku
mengingat kenangan-kenangan itu hingga sampai pada saat dimana aku pertama kali
jatuh hati padanya. Saat itu adalah kelas kedua untuk mata kuliah book report
di semester pertama. Kebetulan aku satu kelas dengannya dan bisa dibilang aku
terkena virus “Cinlok” alias cinta lokasi. Tepatnya di rumah jamur samping
ruang English Corner, 26 Agustus 2011. Aku duduk berdampingan dengannya
lakaynya sepasang kekasih yang baru memulai kisah cintanya. Aku menatap
wajahnya yang penuh dengan harapan dan aku melihat diriku dalam masa depannya.
Entah mengapa aku begitu yakin bahwa aku akan ada dalam masa depannya kelak.
Tatapan matanya yang tajam, senyumnya yang membuat tenang dan canda tawanya
yang bisa membuat siapa saja yang ada disekelilingnya bahagia. Pada hari itu
juga aku mendapatkan nomer handphone dan alamat facebooknya yang sudah
berminggu-minggu aku cari. Ternyata dia sudah mengirim permintaan teman lebih
dulu beberapa hari yang lalu, sungguh indah sekali hari itu. Hari dimana aku
dan dia mulai asik saling mengirim sms.
Siang ini tepat 172
hari, 4128 jam, 247680 menit, dan 14860800 detik aku telah mencintai dan
menunggunya untuk mencintaiku. Tak ada satu pesan darinya pun yang masuk.
Sepertinya langit sudah tak kuat untuk menahan air ujan yang tak kunjung turun
dan akhirnya hujanpun membasahi kota ini. Aku masih termenung dan melirik kecil
ke arah handphoneku setiap lima menit sekali. Memandangi kamar kost ku yang
sempit ini dari atap hingga lantainya. Hingga kemudian aku kembali teringat
akan kenangan-kenangan itu. Ketika dia dijemput oleh seorang gadis cantik
berkerudung di depan kampus. Teman-teman bilang itu adalah calon pacarnya dan
mereka akan pergi nonton berdua. Detik itu juga rasanya ada duri yang tertancap
di hatiku, perih sekali rasanya. Menggerakkan tangan saja susah sekali, nafasku
rasanya tersendat-sendat, aku tak dapat berdiri tegak dan tak bisa melangkahkan
kakiku dengan mantap. Wajahku murung seketika, teman-teman dekatku hanya bisa
bilang “sabar” karena mereka pasti tahu apa yang aku rasakan sekarang. Tapi apa
daya, toh aku juga bukan siapa-siapa baginya.
Cinta itu memang bisa
merubah segalanya. Sebelum kejadian aku melihat dinding facebooknya yang penuh
dengan pesan dan comment dari gadis itu, aku sangat hobi sekali online, bahkan
aku rela kehabisan pulsa hanya demi facebook. Tetapi sejak kejadian itu, aku
sangat membenci facebook dan hampir dua bulan aku sama sekali tidak log in. Aku
takut kalau aku melihat comment-comment mereka berdua di facebook. Terkadang
aku berfikir bahwa aku adalah seorang pengecut yang berani jatuh cinta tetapi
takut sakit hati. “Payah sekali aku ini!!!” aku berkata dalam hati. Aku
termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang takut melihat kenyataan.
Miris sekali diriku ini, mudah sekali untuk menyerah.
Tak terasa sudah pukul
16.00 WIB. Aku tersadar dari lamunanku, dan hal pertama yang aku lalukan ketika
aku tersadar dari lamunanku adalah melihat keadaan handphoneku. Kosong, tak ada
satu pesanpun yang mampir di kotak masuk handphoneku. Menunggu adalah hal yang
paling aku benci karena menunggu itu sangat membosankan, tetapi yang membuatku
bertanya-tanya pada diriku sendiri “ Mengapa menunggunya tak pernah bosan?”.
Cinta memang tak bisa dilogika, sulit dimengerti dan tidak mudah untuk
dipahami.
Hujanpun reda, tetap
saja tidak ada pesan masuk darinya. Tetapi aku yakin penantianku ini tak akan
pernah sia-sia walaupun akan menjadi sebuah penantian panjang. Allah mungkin
sedang mempersiapkan banyak hal untukku kelak ketika penantian ini sudah harus
selesai, hal yang indah akan ku dapat kelak. Semua ini hanya butuh kesabaran,
cinta itu butuh pengorbanan. Tak mudah untuk mendapatkan apa yang kita
inginkan, harus disertai dengan doa dan kerja keras. Maka disetiap shalatku,
aku selalu berdoa untuknya dan untuk kami berdua. Aku percaya bahwa rencana
Tuhan itu akan indah pada waktunya. Dan aku masih setia dan akan selalu setia
untuk menunggunya.
Dering yang Ku Nanti
4/
5
Oleh
Si Jerapah Liar